perahu sandeq dan suku mandar
Bagian Pertama
Desa
Tangnga-Tangnga, Kawasan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, sekitar
140 kilometer dari kota Mamuju, Sulawesi Barat. Suasana bahari begitu
terasa di tempat ini. Garis cakrawala, ombak laut, anak-anak nelayan,
dan perahu-perahu tradisional yang berhamparan di sepanjang pantai.
Desa tangnga-tangnga, seperti
juga desa-desa di pesisir Sulawesi Barat, merupakan lokasi bermukim
warga suku Mandar, satu dari suku-suku laut di Pulau Sulawesi .
Nama suku Mandar senantiasa disejajarkan dengan suku Bugis, suku Makassar , atau suku Bajo. Perbedaan suku Mandar
dibandingkan suku-suku laut lain, mereka dikenal sebagai possasiq,
atau pelaut-pelaut yang tangguh. Mereka terampil mengemudikan
perahu-perahu tradisionalnya, semacam perahu sandeq, untuk mengumpulkan
telur-telur ikan di kawasan laut dalam. Mereka memang mencari nafkah di
laut lepas. Karena itu, lautan luas dan perahu sandeq benar-benar
menjadi bagian kehidupannya.
Ba’du juga bagian dari suku Mandar di desa
Tangnga-Tangnga, Kawasan Tinambung. Ia juga merupakan nelayan, yang
biasa mengumpulkan ikan di rumpon, atau mengumpulkan telur-telur ikan
terbang di perairan Teluk Mandar. Namun, berbeda dengan hari-hari
sebelumnya, kali ini ia dan keluarga Saini lainnya, sibuk menyiapkan
katir, atau mereka menyebutnya palatto. Yakni, bambu
panjang yang berada di kiri-kanan perahu sandeq dan berfungsi untuk
menjaga keseimbangan. Karena itu, bambu yang besar dan panjang pun
disiapkan secara khusus, agar bisa menperkokoh, pemperindah, dan membuat
perahu sandeq mereka bisa melaju cepat. Mereka memang tengah
bersiap-siap mengikuti sebuah lomba perahu sandeq, yang selama sepuluh
tahun ini digelar setiap mendekati hari kemerdekaan.
Perahu sandeq adalah salah satu perahu tradisonal
khas suku Mandar, dengan layar lebar, cadik, dan katir panjangnya. Bagi
suku Mandar, perahu sandeq bukan sekedar kendaraan untuk mencari nafkah
dan meningkatkan status sosial bagi pemiliknya. Tapi, ia juga merupakan
gambaran kehidupan suku Mandar.
Sandeq
artinya runcing, karena haluannya berbentuk pipih dan runcing. Selain
itu, layarnya berbentuk segi tiga (massandeq). Bagian
utama sebuah perahu sandeq adalah lambung, kemudi, layar, cadik,
pemegang katir, dan katir. Perahu sandeq dibuat dengan mengacu pada
struktur manusia, yang memiliki tulang rangka dan anggota-anggota tubuh
lainnya. Pusat kehidupan sandeq adalah pada possi atau
pusar di bagian bawah tengah lambung sandeq.
Awak
perahu sandeq (passandeq) dan perahu sandeq ibarat joki
dan kudanya. Mereka merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Perahu sandeq yang kokoh, cantik, dan bisa melaju cepat (lopi
sandeq nan malolo), harus dikendalikan oleh passandeq-passandeq
yang tangguh. Mereka adalah punggawa dan sawi. Punggawa
merupakan kapten dan juru mudi. Sedangkan sawi merupakan awak kapal,
yang bertugas menjadi pengatur arah layar dan menjaga keseimbangan
perahu sandeq. Mereka juga merupakan satu kesatuan, yang bahu-membahu
melajukan perahu sandeqnya.
Ba’du termasuk sawi dalam tim
sandeq “Bintang Sejarah”, yang akan mewakili desa Tangnga-Tangnga pada
lomba perahu sandeq nanti. Lomba itu memang identik dengan gengsi desa,
bahkan keluarga. Sehingga, hampir setiap warga suku Mandar tidak pernah
melewatkan momen seperti itu. Sedangkan Mahmud merupakan punggawa, atau
kapten, di perahu sandeq “Bintang Sejarah” itu. Ia dikenal sebagai
nelayan yang terampil dan memiliki jam terbang tinggi.
Seorang punggawa memang dituntut memiliki
keterampilan kelautan (paqissangang aposasiang),
pengetahuan tentang berlayar (paqissangang sumobal), pengetahuan
keperahuan (paqissangang paqlopiang), dan pengetahuan
tentang kegaiban (paqissangang). Karena itu, ia menjadi
tokoh karismatik di atas sperahu sandeq. komando-komando sang punggawa
menjadi peraturan mutlak bagi para sawi. Sehingga,
pengaturan posisi tiap sawi dan strategi di atas sandeq pun, sudah
dirancang sejak di darat oleh sang punggawa.
Dua
hari menjelang lomba perahu sandeq dimulai, keluarga Saini yang akan
melajukan perahu sandeq “Bintang Sejarah”, mengumpulkan seluruh awaknya.
Sebagai pemilik perahu sandeq, Saini disebut punggawa
pottana. Sedangkan punggawa di atas perahu disebut punggawa
posasiq. Mereka menggelar Upacara Kumawi yang lazim
dilakukan sebelum para passandeq turun ke laut, entah
untuk mencari ikan atau membawa barang ke pulau lain. Namun
kali ini, upacara dimaksudkan untuk memohon keselamatan selama
mengikuti lomba.
Mereka bukan hanya sekedar
mengikuti lomba dan mempertaruhkan gengsi keluarga atau desa. Tapi,
mereka akan mengarungi laut-laut dalam, dengan gelombang yang besar,
sepanjang Mamuju hingga Makassar .
Artinya, mereka akan melintasi selat makassar dan teluk mandar sepanjang
lebih dari 400 kilometer. Karena itu, kekuatan fisik dan keterampilan
melaut pun dirasa belum cukup, bila tidak dilengkapi dengan kekuatan
dari Yang Maha Perkasa. Warga suku Mandar merupakan penganut Islam yang
taat. Tapi, mereka juga memelihara kemampuan-kemampuan gaib atau
supranatural warisan dari leluhurnya.
Upacara
adat untuk memohon keselamatan para passandeq, bukan
hanya dilakukan di dalam rumah. Mereka juga memboyong pisang, telur, dan
berbagai simbol-simbol penyerahan diri lain, ke perahu sandeq yang
bakal menjadi kendaraannya. Kali ini, punggawa posasiq
sendiri yang menjadi pemimpin upacara. Ia mengawasi setiap jengkal
perahu sandeq sambil mengalunkan mantera-mantera di dalam hati. Ia juga
menengok sumber kehidupan perahu sandeq (possi) di
bagian dalam perahu sandeq.
Seluruh awak perahu sandeq
mengikuti seluruh upacara dengan khidmat. Mereka percaya, ritual yang
dipimpin oleh punggawa Mahmud merupakan cara untuk memagari perahu
sandeq mereka, dari tangan-tangan jahat. Karena bukan rahasia lagi,
kehidupan suku Mandar memang kaya dengan hal-hal yang berbau magis.
Sehingga, lomba perahu sandeq pun sering dibumbui pertarungan magis di
antara para peserta.
Hari yang dinanti segera tiba. kini,
saatnya para passandeq “Bintang Sejarah” bersiap-siap
mengarungi Teluk Mandar, untuk mencapai garis start di Pantai Manakarra
di Mamuju, Silawesi Barat. Artinya, sehari sebelum lomba dimulai, mereka
juga harus mengarungi laut-laut dalam antara Desa Tangnga-Tangnga di
Polewali hingga Mamuju, sepanjang sekitar 140 kilometer.
Dan, bagi passandeq “Bintang
Sejarah”, hal itu tidak menjadi masalah. Mereka tidak mengenal rasa
takut dan lelah, ketika mereka berhadapan dengan laut. Karena, mereka
merasa, kinilah saatnya memperlihatkan keperkasaannya sebagai posasiq. Ratusan warga Tangnga-Tangnga bergegas ke pinggir
pantai, untuk melepaskan perahu sandeq “Bintang Sejarah” dan para passandeqnya, dalam suasana bangga.
Teluk
Mandar termasuk wilayah laut dalam di sepanjang sebelah kanan Pulau Sulawesi . Di dalamnya juga terdapat palung sedalam
lebih dari dua kilometer. Karena itu, suku Mandar menciptakan perahu
sandeq, sebagai kendaraan mencari nafkah dan transportasi ke
pulau-pulau. Haluan yang pipih dan runcing, layar lebar, serta cadik dan
katir nan kokoh, dianggap bisa bermain di antara gelombang-gelombang
besar sambil membelah gulungan ombak-ombaknya.
Perahu
sandeq merupakan kreasi yang diwariskan oleh
suku-suku Austronesia , yang berdatangan
dari arah Madagaskar ke pulau-pulau di nusantara pada abad ke-15 sebelum
masehi. Sejarah mencatat, mereka memiliki sistem navigasi yang mantap,
dengan bersandar pada petunjuk alam dan kepercayaan akan kegaiban. Pada
masyarakat suku Mandar dikenal istilah ussul dan
pantangan (pamali). Ussul merupakan
pengharapan keberhasilan lewat penggunaan simbol-simbol, sedangkan pamali merupakan larangan yang harus diikuti.
Dengan bekal kemampuan navigasi yang diwariskan
secara turun-temurun, dan kepatuhan akan ketentuan yang juga diturunkan
secara tutur, mereka lahir menjadi posasiq atau pelaut
yang tangguh. sedangkan perahu sandeq hanyalah kendaraan tradisonal,
yang memiliki kekokohan dan kecepatannya nan mengagumkan. lebih daripada
itu, suku mandar merasa yakin, mereka memiliki roh kehidupan yang
berasal dari sebuah perahu sandeq. Semangat Sandeq.
Yakni, semangat untuk mengarungi kehidupan yang keras, dan
memenangkannya secara jujur. Inilah rona kehidupan warga suku mandar di
pesisir sulawesi barat.
Bagian Kedua
Satu hari menjelang pelaksanaan lomba
perahu sandeq, para passandeq “Bintang Sejarah” harus mengarungi Teluk
Mandar dan Selat Makassar
sejauh sekitar 140 kilometer. Tujuannya adalah Pantai Manakarra, mamuju,
yang akan menjadi garis pertama seluruh etape.
Lomba
perahu sandeq kali ini, atau sandeq race 2007, diikuti oleh 53 peserta
dari berbagai desa di pesisir Sulawesi Barat. Seperti juga tim perahu
sandeq “Bintang Sejarah”, mereka bukan hanya datang dengan perahu sandeq
dan para passandeqnya. tapi juga, memboyong sebuah
perahu pengiring, yang disebut kappal. Kapal pengiring itulah yang
membantu dan mengawasi perahu sandeq, yang tengah bertarung di laut.
Pantai Manakarra menjadi garis pertama seluruh etape
sepanjang sekitar 400 kilometer. Lima
puluh tiga peserta bersiap-siap di garis start, dan
menunggu aba-aba untuk melajukan perahu sandeqnya. Etape pertama adalah
Mamuju menuju Malunda. Para passandeq
mengenalnya sebagai perairan yang miskin angin. Sehingga, mereka harus
menyiapkan dayung sebagai cara melajukan perahunya.
Ketika bendera tanda awal lomba dikibarkan, mereka
pun berhamburan ke tengah laut. Termasuk juga, perahu sandeq “Bintang
Sejarah”. Firasat para passandeq memang betul. Perairan
mamuju hingga Malunda hanya memiliki gelombang besar. Namun angin besar
yang ditunggu, ternyata belum juga datang. Perahu sandeq yang tidak
memiliki mesin dan sangat bergantung pada angin, betul-betul harus
menggantungkan lajunya kepada kekekaran tangan-tangan para passandeqnya.
Jika angin tidak juga berpihak kepada mereka, maka perjalanan yang
sekitar 60 kilometer harus dilalui, dengan cara mendayung.
Punggawa Mahmud, Ba’du, dan para passandeq
“Bintang Sejarah” lainnya, masih terus berjuang. Hari pertama
lomba, ternyata harus dilalui dengan kerja keras. Sulit dibayangkan,
bagaimana letihnya mendayung di tengah gelombang besar, selama
berjam-jam. Hanya para pelaut atau nelayan tangguh, yang bisa melewati
ruang cobaan ini. Kenyataannya, mereka memang terus bertarung, tanpa
mengenal lelah dan putus asa. Yang mereka miliki hanyalah harapan dan
keyakinan bahwa perahu sandeq yang dikendalikannya bisa mencapai Pantai
Malunda.
Ujian kehidupan memang terhampar luas di tengah
samudera. Di tengah gulungan gelombang, manusia hanyalah makhluk kecil
di tangan Yang Maha Mandiri. Catatan perjalanan selama dua etape, dari
Mamuju hingga Majene, menorehkan rasa letih nan terkira bagi para passandeq.
Selama dua hari kemarin,
mereka praktis harus lebih banyak mendayung, untuk melajukan perahu
sandeqnya. Artinya, selama dua hari kemarin sepanjang hampir seratus
kilometer, mereka benar-benar harus menguras tenaga dan pikiran untuk
mencapai garis pantai. Kini, mereka bersiap memasuki etape neraka,
Majene-Polewali. Disebut neraka, karena di tengah gulungan gelombang
yang besar, di tempat itu pun angin akan benar-benar menguji ketangguhan
para punggawa dan sawi di atas perahu sandeq.
Lomba
perahu sandeq yang selama sepuluh tahun ini digelar di perairan Keluk
Mandar dan Selat Makassar, tidak bisa dipisahkan dari nama Horst J.
Liebner, pakar kelautan asal Jerman. Karena, berkat kesungguhan dan
perjuangan kerasnya, perahu sandeq tidak lagi menjadi kayu bakar. Tapi,
warisan leluhur dan identitas suku Mandar itu, kini mulai diperhitungkan
kembali kehadirannya. Pada akhirnya, nama Horst J. Liebner identik
dengan lomba perahu sandeq, lomba perahu tradisional yang dikenal
terkeras di dunia. Seiring dengan itu, para punggawa dan sawi pun
kembali memperlihatkan keperkasaan dan ketangguhannya di atas perahu
sandeq.
Untuk mengikuti lomba perahu sandeq ini,
punggawa Mahmud, Ba’du, juga para passandeq lainnya,
ikhlas meninggalkan pekerjaannya. Panitia memang menyediakan sedikit
uang untuk persiapan perahu sandeq dan keluarga yang ditinggalkan. Tapi,
jumlahnya relatif kecil dan tidak sebanding dengan pendapatan
bernelayan. Hanya karena kecintaan pada perahu sandeq dan semangat
sandeq, yang membuat mereka lebih memilih bertarung dan berkumpul
bersama para passandeq lainnya. Karena, harus diakui, lomba perahu
sandeq merupakan ajang tempat berkumpulnya para posasiq
atau pelaut handal suku Mandar dari berbagai pesisir.
Kerasnya etape Majene-Polewali memang sudah bukan
rahasia lagi. Di tempat ini, biasanya satu per satu peserta
bertumbangan. Entah karena tiang layar atau katir yang patah. Ujian
terberat memang bermunculan di tempat ini. Dan nasib naas itu,
ternyata menimpa Ba’du dan kawan-kawan. Tiang layar perahu sandeq
“Bintang Sejarah”, terbelah dua. hingga, mereka pun harus melupakan
impian menjadi juara di etape neraka ini.
Jika
pagi hingga sore bertarung, maka di malam hari mereka berkumpul sambil
menikmati tontonan kesenian khas suku Mandar. Mereka seakan bukan sedang
berkompetisi. namun, atmosfir reuni sesama warga suku Mandar lebih
terasa.
Suku Mandar dikenal ramah, rendah hati,
dan mudah bergaul. Karena sikap itu, mereka bisa diterima oleh suku mana
pun. Bahkan, mereka pun sangat membuka diri, ketika ada seorang warga
negara asing semacam Horst J. Liebner, yang berkeinginan membangkitkan
semangat sandeq.
Lomba perahu sandeq bukan
hanya sekedar adu kecepatan dan ketangkasan mengendalikan perahu sandeq.
Namun, pendidikan kedisplinan dan tanggung jawab pun, diterapkan kepada
para peserta. Sehingga, ketika panitia mencatat banyaknya pelanggaran
yang dilakukan di garis start kemarin, maka hukumanlah
jawabannya. Meskipun demikian, para peserta ikhlas saja menerima
hukuman. Mereka tetap tersenyum dan tertawa gembira, ketika panitia
meminta mereka berenang ke sebuah perahu pengiring.
Bila di Pantai Polewali, para peserta sandeq tengah
mengikuti permainan segitiga, maka para passandeq “Bintang
Sejarah”, masih berjuang memperbaiki tiang layar yang patah. Mereka
harus membeli tiang baru dan memasangnya secepat mungkin. Sehingga,
mereka bisa segera mendatangi Pantai Polewali dan mengikuti etape
berikutnya.
Etape Mamuju hingga Polewali
hanyalah sepertiga dari seluruh etape, yang berjarak sekitar 400
kilometer. Artinya, mereka membutuhkan waktu hingga sembilan hari untuk
menyelesaikan seluruh etape dan permainan segitiganya. Gambaran
kelelahan dan kebosanan sudah pasti dirasakan oleh para passandeq. Tapi,
karena kecintaan akan dunia bahari, karena kebanggaan sebagai warga
suku Mandar, dan karena semangat sandeq yang di dalam sanubarinya,
membuat mereka harus melupakan rasa lelah dan bosan.