Kami tidak mengetahui mengapa tema tentang Amerika Serikat dan nasibnya ke depan sebagai pemimpin peradaban (bisa juga dibaca sebagai: polisi dunia) menjadi begitu menarik dibicarakan, khususnya dalam tiga bulan terakhir ini. Beberapa artikel yang dimuat dalam media-media ternama membahas tentang prospek kejatuhan dan keruntuhan Amerika Serikat sebagai sebuah superpower. Ada artikel yang menegasikan kemungkinan ini, tapi beberapa artikel lainnya memberikan afirmasi terhadap prospek keruntuhan Amerika Serikat. Sejarah tentunya tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga memahami masa lalu untuk ’membaca’ kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mengangkat tema ini pada kesempatan kali ini.

Kita mengetahui bahwa Amerika Serikat mulai tampil sebagai kekuatan yang dominan di dunia sejak awal abad kedua puluh. Kedudukannya semakin kokoh menggantikan posisi Inggris dan Eropa secara umum setelah pecahnya Perang Dunia Pertama. Namun pasca Perang Dunia Kedua, kedigdayaan Amerika Serikat mendapat tantangan serius dari kekuatan komunis dunia yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kemudian, selama beberapa dekade dunia terbelah ke dalam dua blok besar: Kapitalis dan Komunis. Periode ini kita kenal sebagai masa Perang Dingin. Namun, komunisme di Soviet akhirnya runtuh satu dekade menjelang berakhirnya abad kedua puluh. Sejak itu, Amerika Serikat tampil sebagai satu-satunya superpower. Negara-negara kecil terpaksa menurut pada tekanan Amerika jika tidak ingin menerima nasib buruk seperti segelintir negara yang berani menantang.

Apakah ini merupakan the end of history seperti dikatakan Fukuyama? Keadaan ketika kapitalisme menjadi ideologi terakhir yang tak memungkinkan lagi terjadinya perubahan?. Akankah Amerika Serikat terus memimpin dunia, menjadi ’default power,’ meminjam istilah Josef Joffe, tanpa ada negara lain yang bisa menggantikannya memimpin peradaban? Mari kita akan  lihat persoalan ini lebih mendalam.

Kepemimpinan Amerika Serikat dalam peradaban dunia sebetulnya merupakan bagian dari mata rantai kepemimpinan masyarakat Barat yang secara umum bisa dibagi dalam tiga periode. Pertama, era kebangkitan pertama peradaban Barat, berlangsung sejak jatuhnya Granada tahun 1492 – walaupun ketika itu peradaban Islam masih cukup kuat diwakili oleh Turki Utsmani, tapi kira-kira setengah abad kemudian Turki mulai mengalami kemerosotan. Pada masa ini peradaban Barat dipimpin oleh Spanyol dan Portugis dengan semangat utama yang bersifat spiritual dan keagamaan (Katolik). Periode kedua, kedudukan Spanyol-Portugis digantikan negeri-negeri Eropa yang berada di Utara (Inggris, Prancis, Belanda) dan bersifat sekuler. Pada periode kedua ini Eropa mencapai puncak kebudayaannya, khususnya pada abad kesembilan belas. Kebudayaan dan seni berkembang pesat, pemikiran dan filsafat (termasuk ideologi) mencapai puncaknya, Ilmu pengetahuan dan rasionalisme mewakili wajah peradaban Barat, kemakmuran juga mengalir ke negeri-negeri mereka.

Periode ketiga, kedudukan Eropa mulai digantikan Amerika Serikat hingga sekarang ini. Walaupun merupakan bagian dari peradaban Barat, tapi karakter yang dimilikinya berbeda. Amerika Serikat merupakan kekuatan yang pragmatis dan lebih menonjol dalam hal militer. Ia tidak berbudaya dan berseni sebagaimana halnya Eropa pada masa keemasannya. Kedudukan Amerika Serikat dibanding Eropa, meminjam kata-kata Max I Dimont dalam Jews, God, and History, seperti kedudukan Romawi kuno dibanding Yunani kuno. Romawi yang kuat secara militer tampak seperti raksasa yang bodoh bagi Yunani yang berseni dan berbudaya. Seperti itulah Amerika Serikat dimata sebagian kalangan di Eropa.

Sementara itu, peradaban Islam pada masa jayanya juga bisa dibagi dalam tiga periode. Karakter pada masing-masing periode tersebut memiliki beberapa kemiripan dengan yang ada pada peradaban Barat, walaupun tentu saja tidak sama persis. Periode pertama yang diwakili Khulafa al-Rashidin merupakan periode yang bersifat spiritual – tetapi spiritualisme dalam sejarah Islam ini memiliki karakter dan pengaruh yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada peradaban Barat. Periode berikutnya, yang mencapai puncaknya pada zaman Bani Abbasiyyah, merupakan masa berkembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Buku-buku asing diterjemahkan dan dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim.

Kemudian masuklah peradaban Islam pada periode ketiga yang dipimpin oleh Turki Utsmani. Turki Utsmani merupakan peradaban yang bersifat praktis dan kuat secara militer. Namun, setelah mencapai puncaknya pada pertengahan abad keenam belas, ia mulai mengalami penurunan. Posisinya mulai digantikan oleh peradaban Barat. Adakah Amerika Serikat dalam mata rantai peradaban Barat memiliki posisi yang sama dengan Turki Utsmani pada peradaban Islam? Adakah kekuatannya akan mengalami penurunan setelah ini, kemudian menjadi the sick man of the West, dan pada akhirnya mengalami disintegrasi yang serius dan bubar? Hanya sejarah yang bisa menjawab pertanyan ini nantinya.

Berbicara tentang kemungkinan disintegrasi Amerika Serikat, harian Kompas pada 12 Oktober 2009 lalu mengangkat sebuah tulisan berjudul ”Krisis di AS Picu Pemisahan.” Artikel itu menyebutkan protes sebagian masyarakat terhadap krisis ekonomi yang serius di Amerika Serikat dan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari federasi. Krisis keuangan di AS telah menyebabkan banyak perusahaan besar runtuh dan banyak warga kehilangan pekerjaan. Sikap pemerintah pusat yang lebih berpihak pada perusahaan-perusahaan besar serta keputusan mereka untuk terus membiayai perang di Afghanistan dianggap oleh sebagian warga sebagai hal yang tidak bertanggung jawab. Mereka merasa kebijakan pemerintah AS sedang menggiring negara itu pada kehancuran. ”Emporium itu (AS, pen.) sedang ambruk,” kata Thomas Naylor, profesor ekonomi yang sudah pensiun dan kini memimpin gerakan Republik Vermont kedua. ”Apakah Anda ingin turut  serta ambruk bersama Titanic atau mencari jalan alternatif selagi kesempatan masih ada?”

Kirkpatrick Sale, pemimpin sebuah lembaga studi yang mendalami isu separatisme, juga mengakui bahwa keinginan memisahkan diri dari pemerintah pusat serta aksi pembangkangan terhadap peraturan pusat pada waktu-waktu belakangan ini lebih serius dibandingkan pada tahun 1865. Isu pemisahan memang sedang bergema, redaktur pelaksana Fort Worth Star-Telegram, JR Labbe, menyatakan hal yang senada. Walaupun hal ini ditolak oleh Lyn Spillman, namun pihak yang mendukung separatisme yakin bahwa pemisahan diri merupakan pilihan terbaik yang perlu diambil oleh negara-negara bagian agar mereka tidak ikut runtuh bersama pemerintah pusat. Dikatakan bahwa setidaknya ada sepuluh negara bagian yang memiliki kecenderungan semacam ini.

Tiga hari sebelumnya (9 Oktober 2009), Kompas juga mengangkat persoalan ekonomi yang sangat mendalam di Amerika Serikat. Hal Ini boleh jadi akan membawa pada kehancuran negeri Paman Sam itu. AS memiliki hutang yang terlalu besar dan difisit ekonomi yang dialaminya demikian tinggi pada tahun 2009. Pemerintah Obama mencanangkan ekonomi akan pulih dan akan mengalami pertumbuhan 4 persen setelah 2010. Tapi tidak semua ekonom AS bersikap seoptimis ini. Sebagian merasa resesi ekonomi AS terlalu dalam dan cepat atau lambat krisis lanjutan akan kembali terjadi. John Glemp dari Global Policy Forum menyatakan bahwa masalah ekonomi AS bukan hanya defisit keuangan, tetapi juga hutang yang menumpuk dan melebihi kemampuan AS sendiri dalam menanggung bebannya. Terkait dengan persoalan ekonomi ini, Richard Duncan yang pada tahun 2003 menerbitkan buku berjudul The Dollar Crisis meramalkan bahwa AS akan mengalami kejatuhan seperti halnya Roma dulu.

Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan yang pesimistis ini. Josef Joffe dalam tulisannya di foreign Affairs edisi September/Oktober 2009 mempertanyakan ramalan tentang keruntuhan AS. Dalam tulisannya yang berjudul Default Power ia menyatakan bahwa ide tentang keruntuhan Amerika merupakan ramalan yang salah (false prophecy). Pesimisme semacam ini telah muncul pada setiap dekade sejak tahun 1950-an, mulai dari shock yang ditimbulkan oleh keberhasilan Soviet meluncurkan Sputnik, pidato Jimmy Carter soal malaise yang menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat AS, hingga ramalan sejarawan Yale, Paul Kennedy, pada akhir 1980-an yang memprediksikan keruntuhan AS disebabkan perluasan berlebihan diluar negeri dan pemborosan di dalam negeri. Tapi, bantah Joffe, semua itu tidak terbukti. Amerika hingga sekarang ini masih digdaya, bahkan semakin tak terbendung pengaruhnya sejak keruntuhan Soviet.

Siapa penggantinya?

Jika Amerika Serikat runtuh, negara mana yang siap untuk menggantikannya? Banyak orang menyatakan Cina, Uni Eropa, atau Rusia siap untuk tampil kemuka menggantikan AS. Tapi data-data yang ada, menurut Joffe, sama sekali tidak mendukung hal tersebut. Joffe mengajukan data-data bahwa AS masih jauh lebih unggul dibandingkan pada kandidat pesaingnya setidaknya dalam beberapa aspek kunci: ekonomi, diplomasi, militer, serta edukasi.

Ia menolak anggapan bahwa ekonomi AS, terlepas dari krisis yang dialaminya, akan tersusul oleh Cina atau yang lainnya dalam waktu dekat ini. Ekonomi AS bernilai $ 14,3 triliun, tiga kali lipat lebih besar Jepang yang berada di posisi kedua. Bahkan jika ekonomi empat kompetitornya – Jepang, Cina, Jerman, dan Perancis – digabungkan, AS hanya kalah sedikit saja. Joffe tidak bisa paham bagaimana Cina yang pendapatan perkapitanya hanya $ 2.900 dikatakan akan mampu menyusul AS yang pendapatan perkapitanya $ 47.000. Sebuah negara tidak semata-mata menjadi lebih kaya atau lebih kuat hanya dengan menambahkan 1,3 milyar penduduknya yang miskin, sindir Joffe.

Kalaupun pertumbuhan ekonomi Cina sempat mencapai angka dua digit dan karenanya diramalkan akan menyebabkan negeri tirai bambu ini pada akhirnya menyusul AS, Joffe tidak terlalu yakin Cina siap menggantikan AS. Cina terlalu bergantung pada ekspor – sementara yang diekspor kebanyakan bukan barang-barang berteknologi tinggi – dan rentan terhadap penurunan ekonomi dunia. Dengan mempertahankan pertumbuhannya, ekonomi Cina memang akan menyusul AS, tapi ia bakal terlanjur tua sebelum menjadi kaya.

Pengeluaran militer AS juga jauh melampaui negara-negara pesaingnya. Pada tahun 2008, AS membelanjakan $607 miliar di bidang pertahanan, hampir separuh dari total pengeluaran militer dunia. Belanja militer Cina kurang sepertujuh dari yang dikeluarkan AS. Uni Eropa juga tidak mampu menandingi Amerika dalam persoalan ini. Angkatan laut AS juga terlalu besar untuk disaingi negara-negara lainnya. Pada tahun 2005, jumlah kapal pada angkatan laut AS dalam ton melampaui tujuh belas pesaing terdekatnya digabung jadi satu.

AS juga memiliki visi dan semangat yang memadai dalam mengawal dunia. Hal semacam ini sulit didapati pada para pesaingnya, sehingga AS-lah yang selalu mengambil inisiatif dalam persoalan-persoalan dunia. Dan yang tidak kalah pentingnya, Amerika masih memimpin dalam bidang pendidikan. Dari 20 universitas terbaik dunia, semuanya ada di Amerika, kecuali 3 saja. Dari 50 universitas terbaik, hanya 11 yang berada di luar Amerika. Sementara itu, universitas terbaik India ada pada skala 200 dan 300-an, dan universitas terbaik Cina berada di urutan ke 200 dan 300-an. Kalaupun universitas-universitas AS banyak dipenuhi mahasiswa-mahasiswa asing, termasuk yang berasal dari Asia, maka bagi Joffe itu merupakan keunikan dan nilai lebih bagi AS karena mampu menarik mahasiswa-mahasiswa terbaik ke negaranya.

Argumentasi dan data-data yang diajukan Joffe pada bagian awal tulisannya sangat menarik, tapi pada bagian akhir tulisannya ia mulai terlihat seperti seorang pemuja Amerika Serikat. Ia menilai ekspansi AS diluar negeri sebagai kombinasi dari kepentingannya sendiri dan keinginan melayani pihak lain. Sementara kekuatan-kekuatan seperti Rusia dan Cina semata-mata dikendalikan oleh maksud serakah belaka. Ia menyatakan bahwa AS mengambil inisiatif dalam berbagai persoalan dunia: persoalan Korea Selatan dan Iran dengan nuklirnya, konflik Arab-Israel, perang dengan Taliban di Afghanistan, dan lain sebagainya. ”Pesan moralnya adalah,” demikian Joffe, ”kalau Amerika Serikat tidak perduli dengan persoalan berat yang ada, maka tak satu pun yang akan perduli.” Joffe seolah lupa bahwa semua persoalan yang disebutkannya itu masih jauh dari selesai, kalau tidak dikatakan Amerika sendiri sebagai penyebab berbagai persoalan tersebut menjadi berlarut-larut.

Sebagaimana judul tulisannya, Joffe mengklaim Amerika Serikat sebagai default power, ‘negara yang mengambil posisi sentral karena tidak ada kekuatan lain di dunia yang memiliki kekuatan serta tujuan yang memenuhi syarat.’ Istilah default power ini memang menarik. Dalam komputer istilah default menggambarkan keadaan yang otomatis akan berlaku ketika tidak ada opsi lain yang dipilih. Tapi lucunya, dalam bahasa Inggris kata default juga berarti ‘kegagalan dalam melakukan sesuatu’ (failure to do something), terutama dalam masalah ekonomi. Sebuah istilah yang penuh ironi bukan?

Diskusi ternyata belum selesai sampai di situ. Majalah Newsweek edisi 7 Desember 2009 mengangkat headline yang cukup menohok: “How Great Powers Fall”. Foto Gedung Putih yang diletakkan dalam posisi terbalik pada halaman mukanya memberi pesan yang jelas tentang apa yang sedang dibicarakan oleh majalan tersebut. Artikel utama yang diangkat oleh majalah itu, An Empire at Risk, ditulis oleh Nial Ferguson, seorang professor sejarah di Harvard. Ferguson mengajukan analisa yang sepenuhnya bersifat ekonomi, walaupun ia juga menyinggung dampak yang tidak hanya berkenaan dengan ekonomi.

Fergusson menyebutkan bahwa Amerika Serikat sedang berada dalam persoalan ekonomi yang sangat berat. Defisit AS pada tahun 2009 ini, yang mencapai 11,2 persen dari GDP-nya, merupakan yang terbesar dalam 60 tahun terakhir, bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan pada tahun 1942. ”Kelihatannya,” kata Ferguson, ”kita mengalami kebijakan fiskal untuk masa perang dunia, tanpa adanya perang itu sendiri.” Kalaupun AS kini sedang berperang di Irak dan Afghanistan, maka kedua peperangan itu sama sekali tidak signifikan jika dibandingkan dengan Perang Dunia kedua.

Selain persoalan defisit, hutang AS juga terlalu besar. Hutang itu diperkirakan akan meningkat terus dari $5,8 triliun pada tahun 2008 menjadi $14,3 triliun pada tahun 2019; dari 41% GDP menjadi 68%. Dengan pola yang sama, pada tahun 2039, hutang AS akan mencapai 91% dari GDP-nya, skenario terburuknya malah bisa mencapai 215% GDP yang berarti lebih dari dua kali output tahunan seluruh ekonomi AS, walaupun Ferguson sendiri tidak cenderung dengan perkiraan yang terakhir ini. Persoalan intinya adalah ketidakseimbangan yang parah antara pengeluaran federal dengan pendapatannya. Hal ini jelas tidak memungkinkan hutang AS berkurang pada masa-masa ke depan.

Amerika Serikat baru-baru ini mengalami krisis finansial yang serius dan kemudian diikuti oleh krisis fiskal. ”Biasanya,” Ferguson mengutip dari Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, ”hutang pemerintah akan meningkat 86% dalam tiga tahun setelah krisis perbankan.” Dua kemungkinan akan terjadi pada saat terjadinya ledakan hutang ini: default (kali ini bermakna kegagalan keuangan), biasanya terjadi ketika hutang dalam mata uang asing (ini tidak berlaku pada AS), atau serangan inflasi besar-besaran. ”Sejarah semua kekaisaran besar Eropa penuh dengan episode-episode semacam ini.... kegagalan ekonomi (default) dan inflasi yang tinggi merupakan gejala-gejala yang paling pasti dari keruntuhan suatu imperium.”

Kemungkinan lainnya adalah peningkatan suku bunga riil (real interest rate), yaitu suku bunga aktual dikurangi inflasi. Ferguson menilai hal semacam ini bisa saja terjadi pada AS, dan ia malah lebih buruk dari kemungkinan sebelumnya. Congressional Budget Office (CBO) memperkirakan pembayaran bunga pemerintah federal AS akan meningkat dari 8% pada tahun 2009 menjadi 17% pada tahun 2017, bahkan jika suku bunga tetap rendah dan terjadi pertumbuhan ekonomi. Jika suku bunga naik sedikit saja dan pertumbuhan tidak terjadi, maka pembayaran bunga AS akan segera mencapai 20%. ”Sejarah mengajarkan,” kata Ferguson, ”jika kamu mengeluarkan sebanyak seperlima penghasilanmu untuk hutang, kamu memiliki masalah. Menjadi terlalu mudah mendapati dirimu terjatuh ke dalam lingkaran setan hilangnya kredibilitas. Investor tidak akan percaya kamu mampu membayar hutang, dan karenanya mereka meminta bunga lebih tinggi, yang justru membuat posisimu semakin buruk.”

Masalahnya tidak selesai sampai disitu. Begitu pembayaran bunga menyentuh budget, maka harus ada yang dikorbankan, dan itu biasanya pengeluaran pertahanan. Sebenarnya, masih menurut CBO, penurunan budget untuk keamanan nasional sudah mulai terjadi. Pada tahun ini pengeluaran untuk pertahanan AS kurang 4% dari GDP, pada tahun 2015 akan turun menjadi 3,2%, dan pada tahun 2028 akan turun lagi menjadi 2,8%. Ke depannya, Ferguson memperkirakan, penurunan yang sama juga akan berlaku pada belanja kemanan sosial.

This is how empires decline,” ujar Ferguson di akhir tulisannya. “It begins with a debt explosion. It ends with an inexorable reduction in the resources available for the Army, Navy, and Air Force.” Ada banyak contoh dalam sejarah terkait hal ini. Kerajaan Habsburg Spanyol berkali-kali men-default hutangnya antara 1557 dan 1696 lalu kemudian terjatuh dalam inflasi. Perancis pra-revolusi membelanjakan 62% pengeluaran kerajaannya untuk membayar hutang pada tahun 1788. Turki Utsmani dan Inggris juga menghadapi persoalan yang hampir sama menjelang kejatuhannya. Sekiranya Amerika Serikat tidak melakukan reformasi fiskal secara radikal, kemungkinan ia pun akan mengalami nasib yang sama.

Jadi bagaimana nasib Amerika Serikat berikutnya: decline or not decline (mundur atau tidak?) Kita akan bisa mengetahuinya secara pasti dengan berjalannya sejarah. Yang jelas, kebanyakan sejarawan percaya bahwa setiap bangsa dan perdaban memiliki umurnya sendiri. Setelah melewati masa puncak, semua akan mengalami kemunduran dan pada akhirnya runtuh. Fakta-fakta sejarah juga memperlihatkan kenyataan yang sama: belum ada satu peradaban pun yang mampu mengabaikan siklus ini dan terus menerus mengalami kemajuan. Al-Qur’an juga menyatakan hal yang sama: “Katakanlah: ...Tiap-tiap umat mempunyai ajal . Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak  mendahulukan.”  (QS 10: 49).

Jadi ini hanya persoalan waktu saja. Kalau orang-orang seperti Josef Joffe percaya bahwa kasusnya akan berbeda dengan Amerika, maka para pemikir dan sejarawan Eropa pada abad kesembilan belas juga percaya kalau mereka sudah mengetahui hukum sejarah dan karenanya boleh mencegah terjadinya penurunan (decline) pada peradaban mereka. Tapi setelah terjadinya perang dunia mereka menjadi pesimis, dan pesimisme mereka kemudian terbukti. Inggris dan Eropa mulai mengalami kemunduran. Posisinya digantikan oleh Amerika Serikat. Kini sebagian pemikir Amerika sendiri mulai merasa pesimis dengan posisi negara mereka sebagai superpower. Tampaknya pesimisme mereka tersebut akan menemui pembenaran pada beberapa dekade ke depan.

Akhirnya, pertanyaan tetap muncul berkenaan dengan siapa yang berpeluang menggantikan posisi Amerika Serikat. Sejauh ini banyak pihak cenderung melihat Cina sebagai kandidat terkuat. Tapi Cina pun masih memiliki persoalannya sendiri yang beberapa di antaranya sudah disinggung di atas. Peluang untuk mengambil peranan ini masih terbuka bagi berbagai bangsa yang ada di dunia.

Bagaimana dengan kaum Muslimin sendiri? Apakah mereka mampu menjawab tantangan ini dan tampil ke muka sekali lagi? Kami kira persoalan ini tidak begitu relevan bagi kaum Muslimin pada saat ini. Yang terpenting untuk dilakukan oleh kaum Muslimin adalah membenahi persoalan internal mereka terlebih dahulu agar selaras dengan al-Qur’an dan tuntunan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam.

Beberapa hari lagi kaum Muslimin akan menyongsong 1 Muharram 1431 hijriah. Alangkah baiknya jika kita mengokohkan komitmen untuk berhijrah dari perilaku yang tidak Islami menuju terbentuknya individu dan komunitas yang Qur’ani. Kalau itu sudah berhasil dilakukan, insya Allah tongkat estafet peradaban akan datang sendiri kepada kaum Muslimin.  Wallahu a’lam.
sumber: www.hidayatullah.com]

Artikel Terkait by Categories



Widget by Uda3's Blog
Bagikan

Sorotan

tinggalin jejak kalian