sejarah singkat jamaah ahmadiah
Ahmadiah didirikan di kota Qodian, India
oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 Maret 1889. Dalam
perkembangannya, Ahmadiah terpecah menjadi dua aliran, yaitu Ahmadiah
Qodiyan dan Ahmadiah Lahore. Ahmadiah Qodiyan berkeyakinan bahwa Ghulam
Ahmad sebagai seorang nabi, sedangkan Ahmadiah Lahore berpendapat Ghulam Ahmad adalah seorang mujadid (pembaharu).
Ahmadiah
masuk ke Indonesia pada tahun 1925 di daerah Tapak Tuan Pantai Barat
Aceh melalui muballig I. Maulana Rahmad Ali dan terdaftar sebagai
Jama’ah Ahmadiah Indonesia yang berbadan hukum berdasarkan Penetapan
Kementrian Kehakiman RI No: JA.5/23/13 tanggal 13 Maret 1953. Yang
terdaftar sebagai badan hukum adalah Jemaat Ahmadiah Indonesia bukan sebagai aliran atau paham keagamaan, sesuai dengan tugas dan kewenangan Departemen Kehakiman.
Menurut
sudut pandang kaum muslimin, ajaran Ahmadiah (Qodiyan) dianggap
melenceng dari ajaran Islam karena mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi.
Hal tersebut bertentangan dengan pandangan kaum muslimin yang mengimani
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nabi terakhir.
Selain mempercayai empat kitab yang diakui kaum muslimin (Taurat,
Zabur, Injil, dan Al-Qur’an), Ahmadiah juga wajib menyakini kitab suci Tadzkirah. Kitab tersebut mencampuradukkan beberapa ayat Al-Qur’an dengan perkataan nabi palsu Ghulam Ahmad.
Ahmadiah Qodianiyah Sebagai Antek Penjajah
Para komandan dan pemimpin imperialis Inggris berkumpul di London
dan menggagas berbagai rencana untuk melawan Islam. Di antara hal yang
mereka kaji adalah bahwa tidak ada kekuatan di dunia ini yang bisa
menandingi mereka (Inggris) kecuali Islam. Oleh karena itu, untuk
mendukung kekuatan imperialis, maka kekuatan Islam harus dipecah belah.
Caranya bukan dengan menyerangnya, akan tetapi dengan mendirikan aliran
sesat yang membawa nama Islam hingga akhirnya aliran sesat tersebut
akan merusak pondasi dari ajaran Islam. Kemudian imperialis Inggris pun
melakukan riset untuk menentukan orang-orang yang siap mendukung
rencana mereka. Hingga akhirnya ditemukanlah orang yang dianggap paling
berbahaya namun siap menjadi antek penjajah Inggris di India, orang
tersebut yaitu Ghulam Ahmad Al-Ahmadi Al-Qodiyani. Ia berkata bahwa
dirinya adalah seorang nabi yang diutus Allah dan wahyu turun
kepadanya. Sumbangan terbesar yang diberikan nabi palsu Ghulam Ahmad
terhadap Inggris adalah fatwanya yang menyatakan bahwa kaum muslimin
tidak boleh angkat senjata terhadap imperialis Inggris, hal itu
dikarenakan syari’at jihad telah dihapus. Tentu kaum imperialis sangat
senang dengan dukungan yang diberikan oleh Ahmadiah tersebut, sehingga
Inggris pun memberikan mereka bantuan apa saja mulai dari perlindungan,
hingga berupa harta benda.
Ghulam Ahmad sendiri dilahirkan di desa Qodian, wilayah Punjab
tahun 1839 M dari keluarga yang juga antek-antek imperialis Inggris.
Bapaknya merupakan salah seorang yang berkhianat terhadap kaum
muslimin. Ia sering berbuat makar dan membantu imperialis Inggris demi
mencari jabatan. Ghulam Ahmad menyatakan bahwa ayahnya, Ghulam Murtadha
termasuk orang yang memiliki hubungan yang baik dengan pemerintah
Inggris. Ia memiliki kedudukan di kantor pemerintahan dan selalu
membantu pemerintah (Inggris) setiap kali terjadi pemberontakan oleh
rakyat.
Ketika
mulai beranjak dewasa, Ghulam Ahmad mulai belajar buku-buku berbahasa
Urdu dan Arab dari beberapa orang guru yang tidak terkenal. Ia bukanlah
tergolong murid yang menonjol prestasinya.
Ghulam
Ahmad selalu memberikan loyalitasnya kepada penjajah Inggris. Untuk itu
semua, Ghulam Ahmad sangat antusias untuk memberikan arahan kepada para
pengikutnya agar menjaga kesetiaannya kepada penjajah..
Hubungan Ahmadiah Qodianiyah dengan Kaum Muslimin
Banyak
orang mengira bahwa Ahmadiah Qodianiyah adalah salah satu kelompok
dalam Islam. Perbedaannya hanya pada masalah cabang (furu’iyah). Namun
kesalahpahaman yang harus diluruskan adalah bahwa antara Ahmadiah dan
Islam tidak ada hubungan apapun. Mereka hanya menipu manusia dan
bersembunyi dibalik nama Islam. Apalagi dalam kitab mereka tertulis
bahwa jika ada orang Islam meninggal dunia, maka tidaklah dishalati dan
dimakamkan di tempat pemakaman mereka (Ahmadiah). Tidak pula boleh
menikah dengan orang Islam dan tidak boleh bergaul dengan mereka. Hal
itu disebabkan karena orang Islam adalah kafir menurut mereka. Seperti
yang dijelaskan sendiri oleh nabi palsu Ahmadiah, Ghulam Ahmad, “Yang
tidak beriman kepadaku, berarti tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya.”
Khalifah
kedua Ahmadiah menyatakan bahwa alasan mereka mengafirkan orang Islam
karena sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an yang mengabarkan kafirnya
seseorang yang mengingkari salah seorang rasul Allah. Oleh karena itu,
barangsiapa yang mengingkari bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi Allah, maka
ia telah kafir sesuai dengan nash Al-Qur’an.
Inilah
aliran Ahmadiah dan hakikat hubungan mereka dengan kaum muslimin.
Mereka terkadang berpura-pura solat bersama kaum muslimin dan melakukan
solat dibelakang imam dari kaum muslimin. Ini adalah penipuan yang
nyata. Mereka telah mengafirkan siapa saja yang mengingkari kenabian
Ghulam Ahmad. Maka bagaimana mungkin mereka membolehkan anggota
Ahmadiah Qodianiyah shalat dibelakang “orang-orang kafir” dalam shaf
mereka? Seandainya mereka shalat bersama kaum muslimin, maka mereka
melakukannya hanya sekedar untuk berpura-pura, dan setelah itu
mengulanginya kembali. Nabi palsu Ghulam Ahmad berkata, “Inilah
madzhabku yang terkenal itu, bahwa mereka tidak boleh shalat dibelakang
orang yang bukan dari Ahmadiah Qodianiyah. Inilah hukum Allah dan ini
pula yang dikehendaki Allah.” Ghulam Ahmad menulis dalam bukunya Arba’in
bahwa, “Allah mengilhamkan kepadaku bahwa sungguh haram kalian shalat
dibelakang orang yang mendustakanku atau ragu-ragu dalam ketaatan
kepadaku.”
Lebih
dari itu, tidak boleh mengasihi orang-orang Islam sebagaimana fatwa
dari dua orang mufti Ahmadiah Qodianiyah ketika ditanya, “Bolehkah
seorang Ahmadiah Qodianiyah mengucapkan kepada orang selain Ahmadiah
yang meninggal ‘semoga Allah merahmatinya dan memasukkannya kedalam
surga?’” Mereka menjawab, “Tidak boleh, karena kekafiran mereka itu
jelas. Oleh karena itu tidak boleh meminta ampunan untuk mereka.”
Koran milik Ahmadiah Qodianiyah, Al-Hukmu (edisi 14 April 1920)
menyatakan, “Yang harus diperhatikan dalam masalah nikah adalah agar
kita tidak memberikan anak-anak gadis kita dan tidak boleh dinikahi
oleh kaum muslimin. Mereka itu seperti ahli kitab. Tidak boleh
menyerahkan anak-anak gadis kita kepada mereka, namun boleh menerima
anak-anak gadis mereka untuk kita nikahi.” Mahmud Ahmad (anak dari nabi
palsu Ghulam Ahmad) mengatakan bahwa barangsiapa yang memberikan anak
perempuannya kepada kaum muslimin, maka ia diusir dari jama’ah dan
dianggap kafir.
Inilah
hakikat kelompok Ahmadiah Qodianiyah. dari sisi hubungannya dengan kaum
muslimin. Semoga Allah tetap menjaga agama-Nya dari kejahatan para
penghianat.