BELASAN pria
berwajah tak ramah masuk ke Hotel Kebayoran Inn. Hasit Marabesi dan
Rusina Lestaluhu yang tengah terkantuk-kantuk di meja resepsionis, serta
M. Simbolon dan Sunarono, staf pengamanan hotel, tak berani menghadang.
Maklumlah, di genggaman para tamu tak diundang itu terselip kelewang
dan golok
Gerak cepat
mereka menaiki tangga menyiratkan bahwa mereka tahu benar di mana buruan
mereka berada. Kamar 30, lantai dua hotel yang terletak di kawasan
Senayan, Jakarta Selatan, itu. Lalu, brak! Pintu kamar dibuka secara
paksa. Tak lama terdengar gaduh orang adu mulut ditingkahi suara besi
beradu dan letusan senjata api.
Keributan pada Selasa subuh pekan lalu itu hanya berlangsung 10
menit. Ketika keluar, mereka sempat merusak jip Lexus hitam milik
penghuni kamar yang diparkir di depan lobi hotel. Lalu, mereka ngacir
dengan dua mobil.
Setelah
para penyerbu menghilang, baru pegawai hotel mencari tahu apa gerangan
yang terjadi. Ketika menuju ke suite room itu mereka
terkesiap. Darah mengalir menuruni anak tangga. Di dalam kamar, mereka
saksikan seorang pria tewas, tergeletak di sofa. Dadanya berlubang bekas
terjangan peluru. Tangan kirinya putus.
Dia adalah Basri Jala Sangaji, 35 tahun,
pemimpin sekelompok pemuda yang menguasai beberapa wilayah yang padat
tempat hiburan di Jakarta. Pagi itu Basri tak sendirian. Dia bersama
adiknya, Ali Sangaji, 30 tahun, dan orang kepercayaannya, Jamal Sangaji,
33 tahun. Dua orang ini terluka parah. Selangkangan Ali terluka akibat
tembakan. Tangan kanan Jamal nyaris putus karena ditebas golok.
Selanjutnya, pegawai hotel menghubungi polisi.
Di lokasi kejadian, aparat menemukan pistol berpeluru karet jenis FN
kaliber 32 milik Basri. Hari itu juga, jasad Basri dibawa ke rumahnya di
perumahan Vila Alfa Mas, Pulo Mas, Jakarta Timur. Ribuan pelayat sudah
tumplek di sana. Jenazah hanya singgah semalam. Esoknya dikirim ke Desa
Rohomoni, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Di kampung halamannya inilah dia
dikebumikan.
Maluku geger
dengan kabar tewasnya Basri. Maklum, ia terhitung tokoh pemuda yang
memiliki ratusan pengikut. Sebagian dari anak buah Basri adalah
"pensiunan" konflik Maluku. Dengan modal massa itu, Basri menjejak
kancah politik. Pada pemilihan presiden kemarin, ia termasuk tim sukses
pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid.
Suasana kota Ambon pun mencekam. Beredar kabar, anak buah Basri
telah tiba di Ambon pada hari yang sama. Cerita balas dendam
berseliweran. Kelompok yang dibidik adalah geng yang selama ini
berseberangan dengan Basri. Itu sebabnya, Kepala Kepolisian Daerah
Maluku, Brigadir Jenderal Aditya Warman, mensiagakan semua personelnya
di titik-titik yang dianggap rawan di Maluku.
Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu mengimbau
masyarakat agar tak terprovokasi dengan insiden pembunuhan tersebut.
Karel tak mau peristiwa berdarah yang menelan 1.842 jiwa akibat konflik
antaragama pada 1998-1999 terulang lagi. Peristiwa ini juga diawali
bentrok antarpemuda yang mabuk. Karena itu, wajar jika sang Gubernur
buru-buru mendinginkan suasana daerahnya.
Buat meredakan ketegangan, Aditya pun buru-buru
mengatakan bahwa tersangkanya sudah diketahui dan ditangkap. "Hanya
saja masalah ini ditangani di Jakarta," kata Aditya kepada Tempo.
Memang, polisi di
Jakarta telah menangkap delapan tersangka. Namun, Komisaris Besar
Mathius Salempang belum mau mengungkap motif pembunuhan ini. "Kami
melihat fakta-fakta yang ada di lapangan saja," katanya. Jadi, hanya
sampai pada delapan tersangka tadi. "Saya sangat yakin mereka
pelakunya," kata Mathius.
Pembunuhan
Basri mestinya memang gampang terungkap lantaran para pelaku
meninggalkan banyak jejak. Misalnya, saksi korban Ali dan Jamal mengenal
para penyerang. Peristiwa itu dilihat langsung oleh petugas hotel.
Nomor polisi mobil penyerbu juga tercatat oleh petugas parkir.
Salah seorang di antara tersangka itu, Emil,
24 tahun, mengaku membunuh Basri karena dendam. Pemuda ini mengatakan,
salah seorang kerabatnya, Lus, tewas dibunuh anak buah Basri di kawasan
Kayu Manis, Jakarta Timur, pada 1998.
Seorang tokoh pemuda Ambon mengaku mengenal
Emil "Dia pendatang baru di 'dunia persilatan' ini," katanya. Emil juga
disebutkan bersandar pada seorang pemimpin kelompok pemuda yang selama
ini berseberangan dengan Basri.
Siapa sebenarnya dalangnya? "Tak ada yang menyuruh. Kami membunuh
karena dendam," kata Louis, 24 tahun, salah seorang tersangka. Kepada
wartawan, pemuda Ambon ini mengatakan ke Hotel Kebayoran Inn juga hanya
kebetulan saja. "Kami hanya main-main."
Salah seorang musuh Basri adalah Herkules,
seorang pemimpin kelompok pemuda yang pernah tenar di Tanah Abang,
Jakarta Pusat. Menurut Herkules, semasa hidupnya Basri meninggalkan
jejak keruh. Herkules yang mengaku kenal Basri di diskotek Zona di
bilangan Karet, Jakarta Pusat, pada 1991, ini pernah bentrok dengan
Basri.
Penyebabnya, seorang
pengusaha mengalihkan surat kuasa penagihan utang dari Basri kepada
Herkules. Perkelahian terjadi di Kemang IV, Jakarta Selatan, pada Mei
2002. Satu orang tewas dari kelompok Basri. Bibir Herkules terserempet
peluru.
Sejak itu, Herkules
mengatakan, Basri musuh besarnya. "Dia banyak musuhnya yang sedang
antre untuk membunuhnya. Tapi dia mati bukan karena saya. Saya tak tahu
pelakunya," katanya kepada Tempo. Herkules mengatakan, Basri juga
bermusuhan dengan Ongen Sangaji dan John Kei. "Bahkan pengusaha yang
pernah berurusan dengan dia pun menjadi musuhnya," katanya.
Ongen Sangaji yang disebut Herkules adalah
seorang tokoh pemuda dari Maluku yang cukup disegani. Tapi, Ongen
mengaku tak tahu riwayat tewasnya Basri. "Saya juga sudah lama tak
berhubungan dengan Basri, sudah dua tahun," katanya kepada Tempo. "Saya
gelap sekali tentang dia," katanya sambil mengucapkan salam dan
menutup pembicaraan.
John
Kei juga seorang tokoh pemimpin sekelompok pemuda di Jakarta. Dia
datang dari Pulau Kei, Maluku. Basri dan John Kei tercatat pernah
bentrok beberapa kali. Di antaranya perkelahian di Diskotek Stadium,
Jakarta Barat, pada Selasa, 2 Maret. Dua petugas keamanan diskotek
tewas. Bentrokan berlanjut di depan Pengadilan Negeri Jakarta Barat,
pada Selasa, 8 Juni. Dalam perkelahian itu, jiwa Walterus Refra, kakak
kandung John Kei, melayang.
Tak
gampang melacak keberadaan John Kei hari-hari belakangan ini. Ketika Tempo
menghubungi telepon genggam John Kei, yang menyahut justru seorang
wanita. "Pak John sedang tak ada," jawabnya sambil menutup telepon.
Pembelaan untuk John justru datang dari pihak kepolisian. "Sejauh ini
belum ada keterlibatan dia," kata Mathius.
Selain berselisih dengan "para pendekar", Basri
sempat pula berselisih paham dengan seorang pejabat penting di Maluku.
Basri pernah menghardik pejabat ini di depan umum di Ambon. Seorang
pengusaha ternama di Maluku juga menjadi musuh Basri. Persoalannya
menyangkut sebuah proyek pembangunan di Maluku.
Kisah sepak terjang Basri memang cukup panjang.
Kunci untuk mengungkap secara tuntas kasus ini bergantung pada
pengakuan delapan tersangka tadi. Jangan lupa juga, ada saksi korban
yang masih hidup, Ali dan Jamal.
jhonny key
Polda
Maluku Kepolisian Daerah Maluku menangkap John Refra alias John Kei dan
adiknya Fransiscus Refra alias Tito, yang diidentifikasi oleh
kepolisian sebagai gembong preman Jakarta yang melakukan penganiayaan
terhadap Jemi Refra (24) dan Charles Refra (22). Ia diduga memotong
jari tangan kanan korban hingga Jefri kehilangan empat jari dan Charles
kehilangan tiga jarinya.
Hal itu dikemukakan Kepala Kepolisan
Daerah Maluku, Brigadir Jenderal Mudji Waluyo kepada pers di Ambon,
Senin (11/8). Ia menjelaskan, polisi juga menangkap tiga anak buah John
Kei yaitu Imanuel Warbal alias Engel, Nick Resmol dan Fransiscus Refra
alian Nani. Kelima tersangka penganiayaan itu kini ditahan oleh
Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Maluku.
Penangkapan terhadap
John Kei dan tiga anak buahnya dilakukan Senin subuh sekitar pukul
03.00 WIT di Desa Ohoijang, Kota Tual, Maluku Tenggara Barat.
Penangkapan melibatkan ratusan aparat kepolisian dari Satuan Brigade
Mobil, Detasemen Khusus 88 dan Samapta.
Tiga kendaraan taktis juga
diturunkan untuk penangkapan gembong preman itu. Dalam penangkapan itu,
tidak terjadi perlawanan. Sedangkan penangkapan terhadap Tito dilakukan
di Bandara Pattimura Ambon pada 7 Agustus, saat ia transit dari Tual
menuju Jakarta.
John Kei dan tiga anak buahnya diterbangkan dari
Tual ke Ambon menggunakan pesawat yang disewa Polda Maluku. Mereka tiba
di Ambon pada Senin sekitar pukul 11.00 WIT dan langsung dibawa ke
markas Polda Maluku. Mereka dikawal oleh personel Detasemen Khusus 88
bersenjata lengkap dan tim reserse. Saat dikeluarkan dari mobil tahanan,
wajah mereka santai dan tidak menunjukan ketegangan.
“Saya
tegaskan bahwa Polda Maluku bersama Polres Malra (Maluku Tenggara)
melakukan pemberantasan premanisme. Dua orang ini (Jemi dan Charles)
merupakan korban premanisme. Preman tersebut kelompok John Kei dan Tito
Kei,” ujar Mudji.
Mudji menjelaskan, penganiayaan itu terjadi pada
19 Juli sekitar pukul 23.00 WIT akibat salah paham antara korban dan
orangtua John Kei. Charles dan Jemi dituduh akan membunuh ayah John Kei
sehingga ia pulang dari Jakarta ke Tual. Motif penganiayaan belum bisa
dipastikan kaitanya dengan Pilkada Kota Tual dan Kabupaten Malra yang
berlangsung bersamaan pada 12 Agustus. “Kebetulan ini bertepatan dengan
Pilkada Kota Tual dan Kabupaten Malra. Saya tidak tahu apakah ada
kaitanya,” jelas Mudji.
Mudji menegaskan, penangkapan ini dalam
rangka pemberantasan premanisme yang sangat meresahkan. Masyarakat
membutuhkan perlindungan jiwa, harta, benda dan martabat. Juga untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat pada polisi. Kedua korban tidak
melaporkan penganiayaan itu ke polisi karena takut. Kasus ini terungkap
saat Mudji melakukan kunjungan kerja ke Tual dan mengetahui keadaan
kedua korban yang mengenaskan.
Pengakuan korban
Jemi
yang dihadirkan di Polda Maluku mengaku, ia dijemput pada 19 Juli malam
oleh John Kei. Ia sempat melawan saat diseret ke dalam mobil tetapi
kemudian menyerah karena ada satu teman John Kei yang keluar dari mobil
sambil mengacungkan parang. Di dalam mobil Kijang Innova itu masih ada
dua orang lagi.
“Saya kemudian di bawa ke rumah Tito dan dipukuli
menggunakan bangku duduk dan batu. John Kei teriak ambil parang kemudian
mereka kasih parang dan letakan parang di leher saya. John Kei bilang
putus leher tetapi Tito bilang potong saja jari tangan,” ujar Jemi.
Jemi
mengaku pasrah menaruh tangan kiri di atas meja tetapi disuruh tangan
kanan. Tebasan pertama yang dilakukan Tito menggunakan parang tidak
memutus jari Jemi. Keempat jarinya baru putus pada tebasan ke dua dan
tersisa ibu jari. Setelah itu, Jemi dibawa ke belakang rumah, diplester
mulutnya dan diikat tangan serta kaki. Setelah itu, kelompok penganiaya
itu menjemput Charles di rumah saudaranya Demianus Refra.
Charles
dianiaya di rumah Tito kemudian dipotong jari tangan kananya oleh Tito.
Tebasan diulang hingga lima kali hingga kelingking, telunjuk dan ibu
jari putus. Jari tengah dan jari manis tidak putus tetapi pangkal
tulangnya retak.
Mereka kemudian disekap dalam kamar mandi di
salah satu kamar di Hotel Vilia. Sekitar pukul 04.00 WIT mereka dibawa
menggunakan mobil dan dibuang di muka rumah Demianus Refra. “Saya harap
bapak-bapak yang di Polda serius menangani permasalahan ini. Jangan
seperti yang di Polres Malra karena sudah dua minggu lebih tidak ada
tanggapan,” ujar Charles.
Komisaris Is Sarifin, Kepala Rumah Sakit
Bhayangkara menjelaskan, mereka tidak mendapat perawatan medis selama
dua minggu di Tual. Kondisi luka mereka sudah membusuk saat dibawa ke
Ambon dan nyaris diamputasi. Dua jari Charles yang retak masih bisa
pulih.
Makin
Berkibar setelah Basri Terbunuh
Sepak Terjang Kelompok John Key di
Ibu Kota
Nama John Refra Key atau yang biasa disebut John Key
lekat dengan dunia kekerasan ibu kota. Nama pria 40 tahun itu semakin
berkibar ketika tokoh pemuda asal Maluku Utara, Basri Sangaji, terbunuh
di Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan, 12 Oktober 2004.
Padahal,
dua tokoh pemuda itu seakan bersaing demi mendapatkan nama lebih besar.
Dengan kematian Basri, John Key nyaris tanpa saingan. Dia bersama
kelompoknya malang-melintang di dunia kekerasan Jakarta.
John Key
merupakan pimpinan sebuah himpunan para pemuda asal Pulau Kei di Maluku
Tenggara. Mereka berhimpun pasca kerusuhan di Tual, Pulau Kei, Mei
2000. Nama resmi himpunan pemuda itu adalah Angkatan Muda Kei (Amkei).
Mereka mengklaim memiliki anggota sekitar 12 ribu orang.
Lewat
organisasi tersebut, John mulai mengelola bisnisnya sebagai
debt
collector alias penagih utang. Usaha itu semakin laris ketika Basri
Sangaji, pimpinan kelompok penagih utang lain, tewas. Para ''klien''
kelompok Basri mengalihkan ordernya ke kelompok John Key.
Saat
itu banyak yang menduga bahwa terbunuhnya Basri merupakan buntut
persaingan dua kelompok penagih utang tersebut. Tudingan semakin kuat
ketika di pengadilan terbukti pelaku pembunuhan tersebut tak lain adalah
beberapa anak buah John Key.
Bahkan, pertumpahan darah
besar-besaran hampir terjadi tatkala ratusan orang bersenjata parang,
panah, pedang, golok, dan celurit berhadapan di Jalan Ampera, Jaksel,
persis di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, awal Maret 2005.
Saat
itu berlangsung sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan
Basri. Beruntung delapan SSK Brimob Polda Metro Jaya bersenjata lengkap
dapat mencegah terjadinya bentrokan tersebut.
Sebenarnya,
pembunuhan terhadap Basri itu bukan tanpa pangkal. Konon, pembunuhan
tersebut bermula dari bentrokan kelompok Basri dengan kelompok John Key
di Diskotek Stadium di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, 2 Maret 2004.
Saat
itu, kelompok Basri mendapatkan ''order'' untuk menjaga diskotek
tersebut, namun mendadak diserbu puluhan anak buah John Key. Dalam
penyerbuan itu, dua anak buah Basri yang menjadi petugas sekuriti di
diskotek tersebut tewas dan belasan terluka.
Polisi bertindak
cepat. Beberapa pelaku ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun, 8 Juni pada tahun yang sama,
saat sidang mendengarkan saksi-saksi yang dihadiri puluhan anggota
kelompok Basri dan John Key, meletus bentrokan.
Seorang anggota
John Key bernama Walterus Refra Key alias Semmy Key terbunuh di ruang
pengadilan PN Jakbar. Semmy adalah kakak kandung John Key. Hal itu
diperkirakan menjadi pemicu pembunuhan terhadap Basri, selain persaingan
bisnis.
Bukan hanya itu. Pada Juni 2007, aparat Polsek Tebet,
Jaksel, juga pernah meminta keterangan John Key menyusul bentrokan di
depan Kantor DPD PDI Perjuangan, Jalan Tebet Raya 46, Jaksel. Kabarnya,
bentrokan tersebut terkait dengan penagihan utang yang dilakukan
kelompok John Key terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor
itu.
Pada tahun yang sama, kelompok tersebut juga mengamuk di
depan Diskotek Hailai, Jakut, hingga memecahkan kaca-kaca di sana tanpa
sebab yang jelas.
Pagi pada 26 Desember 2006, John Key juga
mengamuk di sebuah rumah di kawasan Pondok Gede Bekasi. Akibat
perbuatannya, dia ditangkap aparat Polres Bekasi pada malamnya dan
langsung ditahan. Esoknya, berkas kasus dan penahanannya dilimpahkan ke
Polda Metro Jaya hingga kasusnya dilimpahkan ke Kejati DKI Jakarta
sebulan berikutnya. Tito Refra, membantah kakaknya sebagai gembong
preman. "Anggapan itu hanyalah penilaian masyarakat belaka tanpa bukti,"
katanya di Mapolda Jatim kemarin.